ASAL-USUL JUBAH BHIKKHU - PENCAPAIAN TERTINGGI


 ASAL USUL JUBAH BHIKSU




buka dan baca pelan2 pasti ada guna dan manfaat silahkan coba, untuk menambah uang jajan tiap bulan

 asal usul jubah Bhiksu

ASAL-USUL JUBAH BHIKKHU


Pada zaman Sang Buddha, para bhikkhu memiliki satu stel jubah pamsukula civara. Yang dimaksud pamsukula civara adalah kain bekas pembungkus mayat yang telah dibuang orang di dalam hutan atau di kuburan.

Pada zaman dahulu di India, orang yang meninggal, baik yang miskin maupun yang kaya langsung dibungkus kain dan dibuang ke hutan, lalu para bhikkhu mengambil kainnya dan dicuci kemudian dicelup dengan getah pohon yang berwarna kuning (misalnya pohon nangka), lalu dijahit dibuat jubah.

Pada zaman itu kain sulit dicari dan bila ditemukan mutunya kurang baik. Kain hanya bisa dipakai paling lama satu tahun karena bila kain dipakai lebih dari satu tahun kain tersebut telah mengalami kerusakan.

Umumnya, pada masa Kathina bhikkhu dapat memperoleh jubah pengganti. Buddha membuat peraturan agar para bhikkhu juga memiliki kain sangghati untuk melindungi/menutup badan sewaktu musim dingin (para bhikkhu zaman dulu kebanyakan hanya memiliki satu jubah dan tinggal di hutan).

Para umat Buddha di zaman Buddha, bila melihat para bhikkhu yang jubahnya sudah rusak, mereka dengan keyakinan dan belas-kasih mencarikan kain untuk dipersembahkan kepada Sangha, kemudian para bhikkhu membuat civara/ jubah bersama-sama.

Jubah biasanya juga diperoleh pada perayaan kathina dimana umat Buddha berdana keperluan pokok bhikkhu kepada Sangha.

Semua yang umat Buddha danakan akan menjadi milik Sangha dan bukan menjadi milik bhikkhu tertentu. Cara pembagian jubah melihat dari aspek lamanya masa vassa seorang bhikkhu dan aspek kebutuhan akan jubah tersebut seperti hal berikut ini:

1. Bhikkhu yang jubahnya sudah lama sekali dan sudah saatnya diganti.

2. Kalau jumlah bhikkhunya banyak sedangkan kainnya tidak mencukupi, maka cara mengaturnya dengan melihat bhikkhu yang sudah tua dalam sila kebhikkhuannya.

3. Kalau bhikkhu yang lebih tua tersebut tidak mampu membuat/ tidak mau, dapat diberikan kepada bhikkhu yang lainnya, tapi biasanya/ kebanyakan diberikan kepada bhikkhu mahathera.   

oleh : Tanhadi








ASAL USUL JUBAH BHIKSU

Pada zaman Sang Buddha, para bhikkhu memiliki satu stel jubah pamsukula civara. Yang dimaksud pamsukula civara adalah kain bekas pembungkus mayat yang telah dibuang orang di dalam hutan atau di kuburan.

Pada zaman dahulu di India, orang yang meninggal, baik yang miskin maupun yang kaya langsung dibungkus kain dan dibuang ke hutan, lalu para bhikkhu mengambil kainnya dan dicuci kemudian dicelup dengan getah pohon yang berwarna kuning (misalnya pohon nangka), lalu dijahit dibuat jubah.

Pada zaman itu kain sulit dicari dan bila ditemukan mutunya kurang baik. Kain hanya bisa dipakai paling lama satu tahun karena bila kain dipakai lebih dari satu tahun kain tersebut telah mengalami kerusakan.

Umumnya, pada masa Kathina bhikkhu dapat memperoleh jubah pengganti. Buddha membuat peraturan agar para bhikkhu juga memiliki kain sangghati untuk melindungi/menutup badan sewaktu musim dingin (para bhikkhu zaman dulu kebanyakan hanya memiliki satu jubah dan tinggal di hutan).

Para umat Buddha di zaman Buddha, bila melihat para bhikkhu yang jubahnya sudah rusak, mereka dengan keyakinan dan belas-kasih mencarikan kain untuk dipersembahkan kepada Sangha, kemudian para bhikkhu membuat civara/ jubah bersama-sama.

Jubah biasanya juga diperoleh pada perayaan kathina dimana umat Buddha berdana keperluan pokok bhikkhu kepada Sangha.

Semua yang umat Buddha danakan akan menjadi milik Sangha dan bukan menjadi milik bhikkhu tertentu. Cara pembagian jubah melihat dari aspek lamanya masa vassa seorang bhikkhu dan aspek kebutuhan akan jubah tersebut seperti hal berikut ini:

1. Bhikkhu yang jubahnya sudah lama sekali dan sudah saatnya diganti.

2. Kalau jumlah bhikkhunya banyak sedangkan kainnya tidak mencukupi, maka cara mengaturnya dengan melihat bhikkhu yang sudah tua dalam sila kebhikkhuannya.

3. Kalau bhikkhu yang lebih tua tersebut tidak mampu membuat/ tidak mau, dapat diberikan kepada bhikkhu yang lainnya, tapi biasanya/ kebanyakan diberikan kepada bhikkhu mahathera.

oleh : Tanhadi

ASAL-USUL JUBAH BHIKKHU


Pada zaman Sang Buddha, para bhikkhu memiliki satu stel jubah pamsukula civara. Yang dimaksud pamsukula civara adalah kain bekas pembungkus mayat yang telah dibuang orang di dalam hutan atau di kuburan.

Pada zaman dahulu di India, orang yang meninggal, baik yang miskin maupun yang kaya langsung dibungkus kain dan dibuang ke hutan, lalu para bhikkhu mengambil kainnya dan dicuci kemudian dicelup dengan getah pohon yang berwarna kuning (misalnya pohon nangka), lalu dijahit dibuat jubah.

Pada zaman itu kain sulit dicari dan bila ditemukan mutunya kurang baik. Kain hanya bisa dipakai paling lama satu tahun karena bila kain dipakai lebih dari satu tahun kain tersebut telah mengalami kerusakan.

Umumnya, pada masa Kathina bhikkhu dapat memperoleh jubah pengganti. Buddha membuat peraturan agar para bhikkhu juga memiliki kain sangghati untuk melindungi/menutup badan sewaktu musim dingin (para bhikkhu zaman dulu kebanyakan hanya memiliki satu jubah dan tinggal di hutan).

Para umat Buddha di zaman Buddha, bila melihat para bhikkhu yang jubahnya sudah rusak, mereka dengan keyakinan dan belas-kasih mencarikan kain untuk dipersembahkan kepada Sangha, kemudian para bhikkhu membuat civara/ jubah bersama-sama.

Jubah biasanya juga diperoleh pada perayaan kathina dimana umat Buddha berdana keperluan pokok bhikkhu kepada Sangha.

Semua yang umat Buddha danakan akan menjadi milik Sangha dan bukan menjadi milik bhikkhu tertentu. Cara pembagian jubah melihat dari aspek lamanya masa vassa seorang bhikkhu dan aspek kebutuhan akan jubah tersebut seperti hal berikut ini:

1. Bhikkhu yang jubahnya sudah lama sekali dan sudah saatnya diganti.

2. Kalau jumlah bhikkhunya banyak sedangkan kainnya tidak mencukupi, maka cara mengaturnya dengan melihat bhikkhu yang sudah tua dalam sila kebhikkhuannya.

3. Kalau bhikkhu yang lebih tua tersebut tidak mampu membuat/ tidak mau, dapat diberikan kepada bhikkhu yang lainnya, tapi biasanya/ kebanyakan diberikan kepada bhikkhu mahathera.   

oleh : Tanhadi



Pencapaian Tertinggi

Tak banyak artinya, O para bhikkhu, hilangnya sanak keluarga, kekayaan, dan kemasyhuran; hilangnya kebijaksanaan adalah kehilangan terbesar.

Tak banyak artinya, O para bhikkhu, bertambahnya sanak keluarga, kekayaan, dan kemasyhuran; meningkatnya kebijaksanaan adalah pencapaian tertinggi:

Oleh karena itu, O para bhikkhu, kalian harus melatih diri demikian: “Kami akan berkembang dalam peningkatan kebijaksanaan.” Demikianlah, O para bhikkhu, kalian harus melatih diri.
(I, viii, 6-10)
7. Pencapaian Tertinggi

Tak banyak artinya, O para bhikkhu, hilangnya sanak keluarga, kekayaan, dan kemasyhuran; hilangnya kebijaksanaan adalah kehilangan terbesar.

Tak banyak artinya, O para bhikkhu, bertambahnya sanak keluarga, kekayaan, dan kemasyhuran; meningkatnya kebijaksanaan adalah pencapaian tertinggi:

Oleh karena itu, O para bhikkhu, kalian harus melatih diri demikian: “Kami akan berkembang dalam peningkatan kebijaksanaan.” Demikianlah, O para bhikkhu, kalian harus melatih diri.
(I, viii, 6-10)












Komentar

  1. BAHAN:
    BUDDHA PICTURE FACEBOOK
    UPLOAD OLEH SDR GERARDUS MAYELLA OFS

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MISA SYUKUR INKULTURASI SUNDA CIGUGUR

The TAIZE COMMUNITY FOTO ALBUM AND MP4